Laman

Jumat, 10 Juni 2011

Kerajaan Tayan

Kerajaan Tayan

* Enam Abad Perjalan Sejarah Kerajaan Tayan

Bermula dari Pengamanan Jalur Upeti pada Kerajaan Matan

PILAR Kerajaan Tayan dimulai awal abad 15 atau sekitar tahun 1450. Gusti Lekar, anak kedua Panembahan Dikiri, Raja Matan yang mendirikan Kerajaan Tayan. Awalnya kedatangan Gusti Lekar ke wilayah Tayan untuk mengamankan jalur upeti rakyat pada Kerajaan Matan.

Jalur pengiriman upeti sebelumnya selalu mendapat gangguan dan perampasan. Itu dilakukan oleh seseorang yang menyatakan diri sebagai raja di Kuala Labai. Keberhasilan Gusti Lekar mengamankan upeti untuk kerajaan ayahnya dibantu seorang suku Dayak bermana Kia Jaga dari Tebang.

Tak berselang lama setelah berhasil mengusir penggangu jalur upeti dan mendirikan Kerajaan Tayan, Gusti Lekar menikahi Enci’ Periuk, anak tunggal Kia Jaga. Mereka dikarunia empat anak, masing-masing diberi nama, Gusti Gagok, Gusti Manggar, Gusti Togok, dan Gusti Perua.

Gusti Lekar mendirikan kerajaan baru, sementara anak pertama Penembahan Dikiri, Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuddin, meneruskan kedudukannya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifuddin menjadi raja pertama yang memeluk agama Islam. Tuan Syech Syamsuddin lah yang memperkenalkan agama Islam padanya. Selain memeluk agama Islam, ia juga mendapat hadiah Al-quran kecil dan cincin bermata jamrud merah dari Makkah.

Sejarah Kerajaan Tayan diteruskan anak, cucu, dan cicit Gusti Lekar, setelah ia wafat dan dimakamkan di bukit dekat Kota Meliau masih dalam wilayah Kerajaan Tayan.

Terdapat tiga versi asal usul nama Tayan di masyarakat. Ada yang menyatakan nama Tayan diambil dari kondisi tanah Ujung Tanjung, tempat berdiri Kota Tayan, sehingga Tayan diartikan tanah tajam. Tapi ada yang mengartikan Tayan sebagai kota besar (tai: besar dan an: kota). Tempayan yang ditenggelamkan di muara Sungai Tayan sebagai tanda mulai berdirinya Kota Tayan juga dijadikan sumber nama Tayan.

Sejak mangkatnya Gusti Lekar, ibukota Kerajaan Tayan dipindahkan ke Rayang. Sampai sekarang di sana masih terdapat peninggalan makam raja-raja dan meriam. Konon meriam itu tidak dapat dipindahkan ke tempat lain dan ada saat-saat tertentu posisinya berubah sendiri.

Ibukota kerajaan pindah kembali ketempat semula di muara Sungai Kemilun 700 meter dari muara Sungai Tayan. Pemindahan dilakukan cicit Gusti Lekar, Gusti Kamarudin, setelah sakit kulitnya yang dideritanya sembuh oleh ikan patin yang memakan kulit kaki raja ketika merendam kaki di sungai. Wabah penyakit kulit itu melanda seluruh kerajaan.

Semasa kekuasaannya, Kerajaan Tayan berperang dengan Kerajaan Pontianak dan Sanggau. Pihak Gusti Kamarudin diserang pula oleh sentiam orang-orang China yang membuat terowongan satu kilometer menuju istana dari balik buki Hujan Emas.

Kerajaan Tayan juga pernah mengikat kontrak dengan Belanda pada 12 November 1822, pada kekuasaan Gusti Mekah, anak Gusti Kamaruddin. Setelah wafat, ia digantikan adiknya Gusti Repa. Tapi setelah Gusti Repa wafat, kekuasaan beralih ke adik Gusti Kamaruddin, Utin Blondo.

Semasa ia memerintah, Belanda ingin mengubah perjanjian dengan syarat yang memberatkan rakyat. Utin Blondo jelas menolak keras dan marah. Sepertinya hubungan itu baru membaik, pada kekuasaan cicitnya Gusti Muhammad Ali. Waktu itu, 26 Februari 1890, Belanda mengembalikan kekuasaan Kerajaan Meliau padanya. Itu dilakukan setelah Raja Meliau Raden Abdul Salam melepaskan kekuasaannya pada Belanda. Gusti Muhammad Ali juga memindahkan Keraton Tayan ke Kampung Pedalaman, lokasi keraton sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar